Pelanggaran HAM di Aceh Tak Boleh Dilupakan

HARI Jum'at (10/8) adalah hari terakhir peserta International Human Rights Training dari SpeakOut2012! UNPO. Kali ini, giliran kantor kementrian luar negeri Belanda yang dikunjungi. Berjarak hanya dua kali lemparan batu dari stasiun kereta api Den Haag Central. Di depan kantor itu, bendera warna merah, putih dan biru berkibar-kibar ditiup angin. Di papan pintu masuk tertulis "Ministerie van Buitenlandse Zaken". Begitu tiba dipintu masuk semua peserta berkumpul untuk absen ulang. "Please do not forget to bring your passport" pinta seorang staf UNPO mengingatkan.

 Layaknya pemeriksaan keamanan memasuki bandar udara. Semua peserta yang berjumlah 30 orang memasukan tas jinjingnya untuk dilewati mesin pemindai bagasi. Sedangkan staf pekerja kantor luar negeri Belanda bebas masuk dengan hanya memperlihatkan kartus identitas elektronik. Maklum saja, sebagai kantor diplomat, disinilah pusat keluarnya kebijakan luar negeri Belanda. Malam hari sebelumnya, sebuah percakapan telepon dari Swedia menyarankan saat pertemuan nanti agar peserta asal Aceh duduk paling depan untuk mengajukan beberapa pertayaan.

 Tepat pukul dua siang, dalam sebuah ruangan konferensi kantor departemen luar negeri Belanda, seorang pria Belanda perlente memperkenalkan diri. Dia, Jochem de Groot akan mempresentasikan tentang "Internet and Human Rights" dalam perspektif dan kebijakan Belanda. Jochem, jabatannya sebagai penasihat senior dan pembuat kebijakan mengenai internet dan hak asasi manusia di departemen luar negeri, Belanda. "Ini dia orang yang patut dilobi untuk berkomunikasi berkenaan kasus HAM Aceh masa lalu" pikir penulis dalam hati.

 Monitor setengah ukuran layar bioskop memperlihatkan aktivitas bantuan Belanda dalam kontribusinya meningkatkan perkembangan HAM di 13 negara. "Belanda sebagai negara donor dalam proyek yang disebut Human Rights Fund (MRF)" beber Jochem tentang kebijaksanaan HAM negaranya. Dalam paparannya, dari ke 13 negara itu proyek MRF tidak memasukan Indonesia, melainkan terbanyak adalah negara di kawasan Arab yang baru saja menjalankan pemerintahan baru. "Belanda mengkampanyekan kebebasan beragama, berekspresi termasuk kebebasan internet dan juga yang paling penting melindungi pembela hak asasi manusia " tekan Jochem. Disamping itu, dijelaskan pula prinsip-prinsip dasar kebijakan HAM Belanda seperti perlindungan suaka, penghapusan hukuman mati dan hak-hak minoritas.

Meskipun sudah duduk di bangku paling depan penulis tetap menerawang berfikir kebelakang akan sejarah Belanda. Masih sangat segar dalam ingatan penulis, setahun lalu, hari Rabu 17 Agustus saat Indonesia merayakan hari "kemerdekaannya", penulis pernah mengajukan pertanyaan terhadap Jan A. Soer, wakil duta besar Belanda untuk Malaysia di Kuala Lumpur. Kala itu, penulis memberanikan diri untuk menanyakan mengapa Belanda tidak menarik kembali maklumat perang terhadap Aceh serta mengapa ketika perang berakhir kedaulatan Aceh tidak dikembalikan kepada rakyatnya melainkan diberikan kepada bangsa lain.

 Sekali-kali terkonsentrasi penuh menyimak setiap ucapan Jochem de Groot saat terdengat kata "Human Right". Persis saat dibangku universitas Syiah Kuala Kuala, Banda Aceh kala seorang dosen memberikan perkuliahan. Tersadar akan batas waktu yang diberikan hanya 1,5 jam ditambah lagi bosan dengan bahasan normatif, tiba-tiba penulis memberanikan diri menginterupsi staf deplu Belanda, Jochem de Groot, yang sedang berceramah. "Do we have question and answer session?"

 Semua dalam ruangan memaling muka kepada penulis. "It's soon, just a few minutes more we will into question and answer time" ucap Jochem de Groot yang sangat fasih berbahasa Inggris. Tanpa perlu mikrophon untuk bertanya, penulis mengawali pengenalan sejarah antara Aceh dan Belanda dengan mengatakan kalau pertanyaan ini adalah yang banyak ditanya oleh orang Aceh, dan sampai hari ini tidak pernah ada jawaban. "Pertanyaan serupa sudah pernah saya ajukan kepada wakil duta besar Belanda di Kuala Lumpur. Namun tidak ada jawaban kongkrit, malah diberikan secarik kertas hasil kutipan pencarian Google" papar penulis sambil mengingati pertemuan saat bulan puasa tahun lalu di Malaysia. 

 Sambil menahan emosional yang meluap, penulis langsung mengajukan pertanyaan dengan santun. Dari tadi Anda berbicara tentang peningkatan HAM dan juga masalah pelanggaran HAM yang terjadi di negara-negara lain, itu semua telah terjadi di masa lalu. "Bagaimana kebijaksanaan pemerintah Belanda sendiri berkenaan pelanggaran HAM masa lampau terhadap bekas koloninya yang disebut Netherland East Indies. Maksud saya, dimana tanggung jawab pemerintah Belanda saat membunuh bangsa Aceh dan kemudian mengembalikan daulat negerinya tanpa Referendum melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) kepada bangsa lain bukan kepada rakyatnya sendiri" yang penulis pinta untuk menjawabnya dengan jujur.

 Di ujung kalimat, penulis yang duduk paling depan didampingi oleh dua warga Aceh lainnya dari Swedia dalam forum tersebut menambahkan, "our Achehnese great grandparents were brutally shot to death by your soldiers called "Marsose". We do demand your responsibility on what has happened in the past to our land, Acheh. should we neglect the truth?" Sambil memberikan bukti sejarah, penulis menambahkan argumen perumpamaan, what if our people invade your land and colonize as you did to us, will you accept it? what will you do then?

 Terakhir, untuk meyakinkan Jochem de Groot sebagai pembuat kebijakan masalah HAM Belanda itu, penulis memberikan tambahan argumen bahwa medio September tahun lalu pengadilan Den Haag memutuskan pemerintah Belanda bersalah dan wajib bertanggung jawab terhadap korban Rawagede dengan meminta maaf serta memberikan korban ganti rugi terhadap janda korban pembantaian massal pasukan Belanda di Desa Rawagede, Karawang, Jawa Barat pada 1947.

 Semua bahan pertanyaan sebenarnya sudah penulis hafal sehari sebelumnya. Beruntung, tanpa dilarang, dalam forum itu akhirnya uneg-uneg yang selama ini terpendam disampaikan juga. Namun, bukan seorang diplomat Belanda namanya jika tidak bisa berkelit untuk menjawab dari pertanyaan sensitif. Merasa pertanyaan berat, Jochem de Groot mengelak halus dengan memberikan sebuah kontak person diplomat lain, beserta email yang lebih layak untuk ditanyakan mengenai sejarah Aceh dan Belanda. Disamping itu, imbuh Jochem, sekarang kita fokus dalam topik HAM terkini ditambah lagi kampanye sosialisasi HAM menerusi internet. Jochem juga berjanji setelah selesai acara akan berbicara sejenak dengan penulis.

 Jika memang diplomat tersebut jujur, bahasan yang dibincangkan mencakup HAM yang universal dan pelanggaran HAM kejadian masa lalu tidak boleh dilupakan, apalagi masalah daulat sebuah negara yang menyebabkan sumber dari segala sumber konflik di Aceh. Setelah insiden itu, peserta International Human Rights Training dari SpeakOut2012! UNPO lainnya mulai beruntun menanyakan perihal yang menyangkut kepentingan negerinya masing-masing. Sebelum semua rombongan peserta kembali ke gedung "Netherlands Institute of International Relations Clingendael", sambil dihantar berjalan keluar gedung kantor departemen luar negeri Belanda di Den Haag itu, berkenaan Aceh, kawan-kawan peserta berdiskusi sambil menyarankan bahwa sebaiknya warga Aceh diaspora untuk membuat komunikasi dengan setiap kedutaan Belanda dinegara mana mereka bermukim. Penulis bersetuju sambil berencana setiba di Swedia juga akan mencoba membuat temu janji dengan staf kedutaan Belanda di Stockholm. (Asnawi Ali, bekas anak koran (ankor) Waspada Aceh 1998-1999, kini bermukim di Swedia)

Sumber: http://epaper.waspadamedan.com/index.php?option=com_content&view=article&sectionid=5&id=1207&bsb_midx=0 Hr Waspada, Kamis 20 September 2012, kolom Aceh, halaman B11.