Wakili ASNLF, Yusuf Berpidato Di Panel Diskusi HAM PBB



(Jenewa) Wakil ketua presidium ASNLF (Acheh-Sumatra National Liberation Front), Yusuf Daud berpidato  dihadapan para aktivis HAM dalam diskusi yang menyangkut perkembangan HAM di Aceh, Papua dan Maluku pada Jum’at (14/1).   

Pria Aceh berdomisili di Swedia ini diberikan waktu untuk menjelaskan perkembangan HAM masa lalu di Aceh sebagai pembanding laporan resmi dari Indonesia yang selalu dipublikasikan kepada publik selalu dalam keadaan positif.  Mekanisme perbandingan ini memungkinkan agar para pengambil kebijakan di kantor PBB urusan HAM di Jenewa menjadi lebih objektif, kesempatan yang sama juga diberikan kepada delegasi dari Papua dan Maluku.



Berikut isi terjemahan pidato wakil ketua ASNLF (Acheh-Sumatra National Liberation Front) yang dikutip dari judul asli ”Violations of Human Rights and the Right sto Self-Determination of the People of Acheh”:




Pelanggaran Hak Asasi Manusia dan Hak-Hak Penenentuan Nasib Sendiri Bangsa Aceh

Pidato Yusuf Daud, Wakil Ketua,
Front Pembebasan Nasional Aceh Sumatra (ASNLF)
di Palais des Nations, Jenewa, 14 Maret 2014


Saudara Moderator, Tuan-tuan dan Puan-puan sekalian:

Suasana acara side event di kantor PBB, Palais des Nations, Jenewa
Pertama-tama saya ingin menyampaikan penghargaan saya yang tulus atas kehadiran anda di sini hari ini.  Penghargaan saya juga saya tujukan kepada UNPO dan NRP (Nonviolent Radical Party) yang telah mengorganisasi konferensi ini.

Nama saya Yusuf Daud selaku wakil ketua Acheh - Sumatra National Liberation Front (Front Pembebasan Nasional Aceh Sumatra), yaitu sebuah organisasi pembebasan Aceh yang didirikan oleh DR. Tengku Hasan di Tiro pada tahun 1976, untuk menjamin hak-hak bangsa Aceh dalam menentukan nasib sendiri dan kemerdekaan dari Indonesia.


Sebelum membahas tentang situasi hak asasi manusia di Indonesia, khususnya di Aceh, Maluku Selatan dan Papua Barat, saya ingin menyegarkan kembali ingatan kita dengan mengutipbeberapa kutipan dari Organisasi hak-hak asasi manusia terkenal, berkaitan dengan tiga puluh tahun konflik bersenjata antara Aceh dan Indonesia.

"Kekerasan bisa dipastikan merupakan bagian penting dari sejarah singkat Indonesia. Pemerintah Indonesia telah melanggar hak-hak asasi manusia secara sistematis selama lebih dari 20 tahun dan terus melakukannya dengan impunitas . " ( Laporan Asia Watch tahun 1990, dua puluh empat tahun yang lalu )


Amnesty International , Fokus pada Aceh , Juli 1993, dua puluh satu tahun yang lalu, menulis. " ..... pengabaian terhadap kehidupan manusia merupakan suatu bagian yang tidak dapat dipisahkan dari cara-cara pasukan keamanan Indonesia melakukan tugasnya . Pembunuhan , penghilangan-penghilangan secara paksa, penangkapan sewenang-wenang , dan penyiksaan telah menjadi undang2 sebagai respon normal terhadap perbedaan politik dan ancaman-ancaman lainnya terhadap keamanan nasional ."

Organisasi hak-hak asasi manusia Inggris, TAPOL (Bulletin no . 163 , Okt. Tahun 2001, empat belas tahun yang lalu) melaporkan bahwa : "Aceh adalah zona perang terburuk di Asia . Tidak ada bagian dari provinsi tersebut yang tidak tersentuh oleh tragedi dan tidak ada satu keluarga pun yang tidak mengalami penghilangan nyawa , penculikan dan trauma akibat dari konflik tersebut".

Formulasi di atas merupakan sebagian contoh daripada situasi yang berlaku di Aceh selama era DOM (Daerah Operasi Militer) antara tahun 1989 1998. Dan ini juga menunjukkan bahwa karakteristik nyata dari Indonesia sebagai sebuah kerajaan perampok dalam menangani masalah-masaalah politik dan hukum di Aceh, Papua Barat, Maluku Selatan dan lain-lain.

Kekejaman yang dilakukan selama bertahun-tahun ini tidak ada bandingannya dalam sejarah Aceh melawan kekuasaan kolonial di masa lalu. Penangkapan sewenang-wenang, pembunuhan diluar hukum, penyiksaan rutin, dan penghilangan daripada ribuan warga sipil sudah tidak asing lagi. Lebih dari 40.000 rakyat Aceh yang tidak bersalah telah kehilangan nyawa dalam tahanan-tahanan militer, di kuburan-kuburan massal tersembunyi, atau di kamp-kamp konsentrasi rahasia.

Setelah satu dekade daripada kebrutalan-kebrutalan ini dan jatuhnya Suharto pada bulan Mei 1998, status DOM yang keji itupun dicabut . Presiden BJ . Habibie dan Jenderal Wiranto mengambil alih kemudi negara dan datang ke Aceh untuk mohon maaf atas ekses-ekses yang dilakukan oleh serdadu mereka. 



Ketua delegasi ASNLF Yusuf Daud (kirI) aktivis HAM internasional Martha Meijer (kanan) pada panel diskusi tentang pelanggaran HAM Aceh, Papua dan Maluku di kantor  PBB, Palais Des Nations, Jenewa, Juma’at (14/3).


Akhirnya, demokrasi datang ke Indonesia pada tahun 1999 dan era reformasi pun dimulai. Namun sayangnya, perubahan ini tidak pernah sampai ke Aceh. Bagi masyarakat Aceh, tahun 1999 merupakan tahun yang terburuk dalam sejarah kami – tahun yang penuh dengan pembantaian. 


Kemudian Rezim reformasi memperkenalkan "Operasi Wibawa 99" yaitu operasi gabungan polisi militer. Kebrutalan-kebrutalan dari operasi ini melampaui apa yang terjadi pada masa  DOM.  Sepanjang tahun ini sejumlah pembantaian telah terjadi di Aceh : Pembantaian di Kandang Kabupaten Aceh Utara pada tangga l3 Januari; Pembantaian di Idi Cut Kabupaten  Aceh Timur pada tanggal 3 Februari ; Pembantaian Dewantara di Simpang KKA, Aceh Utara tanggal 3 Mei;  Pembantaian Beutong Ateueh Kabupaten Aceh Barat tanggal 23 Juli, dan banyak pembunuhan di luar hukum lain yang telah mengambil korban lebih dari seribu nyawa rakyat Aceh hanya dalam waktu satu tahun.

Operasi-operasi militer ini terus dijalankan tanpa berhenti, dengan intensitas dan kebrutalan yang sama, sampai Aceh luluh-lantak diterjangan gelombang Tsunami Samudera Hindia, yang telah mengambil korban lebih dari 200.000 jiwa rakyat Aceh di tahun 2004. Bencana tragis ini telah membawa pihak yang bertikai, Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM ) kepada sebuah kesepakatan damai yang disebut Memorandum of Understanding ( MoU ) di Helsinki , Finlandia. Salah satu dari  sekian banyak ketentuan dalam MoU adalah pembentukan dua lembaga hak asasi manusia : Pengadilan HAM (HRC) dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).

Enam belas tahun kemudian sejak pencabutan DOM dan lima belas tahun setelah pembantaian massal tahun 1999, tidak ada satu pun dari penanggung-jawab dari pelanggaran hak-hak asasi manusia yang parah ini dibawa ke pengadilan. Hal  ini menandakan bahwa pelanggaran semacam itu boleh dilakukan di Aceh dengan memiliki kekebalan hukum. Hampir sembilan tahun setelah kesepakatan Helsinki ditandatangani, tidak ada yang berubah sehubungan dengan  perlindungan hak asasi manusia dan penyeselesaian pelanggaran masa lalu oleh pasukan keamanan.

Bulan lalu, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh telah meluluskan sebuah qanun tentang KKR, dan Jakarta belum menyetujuinya. Namun, Human Rights Watch sudah  duluan menyatakan bahwa "Pelanggaran HAM di Aceh terlalu serius untuk ditangani hanya oleh Komisi Kebenaran  dimana  mereka tidak bisa menjalankan hukuman pidana. Negara memiliki kewajiban di bawah hukum internasional untuk mengadili pelanggaran serius hak asasi manusia dan penjahat-penjahat perang ".

Amnesty International dalam laporan terbarunya terhadap perkara di Acheh (Sudah Masanya Menghadapi Masa Lalu, April 2013 ) mengatakan : "Konflik tersebut tetap menyisakan  luka terbuka – kebanyakan nasib dari mereka yang tewas masih tak diketahui, pelaku pelanggaran hak asasi manusia masih berjalan dengan bebasnya".  

Mantan direktur Asia Human Rights Watch, Brad Adams menyatakan dalam laporan Mei 2006: "Para pemimpin militer yang melakukan kejahatan di Aceh telah dinaikkan pangkatnya, bukannya dihukum," katanya. "Sudah saatnya untuk mengakhiri ini – pribadi-pribadi dari  kedua belah pihak yang melakukan pelanggaran serius harus bertanggung jawab ... Masyarakat internasional telah menerapkan keadilan bagi pelanggaran di masa lalu di Timor-Timur, serta di Rwanda , Sierra Leone, dan bekas Yugoslavia".  " Mengapa Aceh harus diperlakukan berbeda?"  ia bertanya-tanya.

Ada sesuatu yang tidak beres dengan negara salah urus ini  yang bernama ”Indonesia” dan kita heran bagaimana dan mengapa rezim brutal ini telah mampu melakukan kejahatan keji tersebut dan tidak tersentuh hukum selama 64 tahun terakhir ini?

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus kembali ke akar-akarnya, ke sejarah bagaimana  kepulauan Melayu yang sangat luas ini menjadi sebuah negara. Bapak-bapak dan Ibu-ibu sekalian, saya berharap anda akan bersama dengan saya selama beberapa menit kedepan, untuk memeriksa secara obyektif bagaimana tragedi ini telah dilakonkan.

Pelanggaran awal dari prinsip-prinsip PBB pertama sekali dilanggar setelah Perang Dunia ke-II yaitu periode dekolonisasi. Manakala semua wilayah jajahan kekuasaan Barat dikembalikan  kepada bangsa-bangsa asli dan mejadi negara merdeka, Hindia Belanda tidak dikembalikan kepada  masing-masing pemilik asli dimana Belanda telah merampas wilayah-wilayah tersebut sebelumnya.

Pada tanggal 27 Desember 1949, Belanda memberikan seluruh bekas wilayah jajahan Hindia Belanda kepada entitas pura-pura ”Republik Idonesia” yang berbasis di Jakarta, bukan kepada pemilik yang sah masing-masing, sebagaimana telah ditentukan oleh badan PBB urusan dekolonisasi. Dengan demikian, Indonesia telah menjadi satu-satunya negara penerus terhadap  imperium kolonial Hindia Belanda, dengan wilayah kolonial sebesar  benua Eropa, dari Moskow hingga ke Lissabon.  Secara definisi, tak bias dipungkiri bahwa negara sambungan dari kerajaan kolonial juga merupakan kerajaan kolonial itu sendiri.

Indonesia sebagai sebuah negara neokolonialis sebesar itu dan dengan dukungan dari negara-ngara Barat dan AS, negara tersebut telah berhasil bertahan dan berlangsung begitu lama dengan cara menumpahkan darah bangsa-bangsa kami Aceh di bagian paling utara Sumatera hingga ke Papua Barat di bagian Timur dari kepulauan Melayu, dengan Maluku Selatan dan Sulawesi di tengah-tengah, dengan jumlah 3 juta orang mati dibunuh secara tidak sah oleh pasukan keamanan Indonesia.

Negara kami, Acheh Sumatera telahpun menjadi negara merdeka yang diakui secara internasional dan merupakan pusat kerajaan yang kuat selama beberapa abad sebelum kedatangan kekuatan Eropa ke Asia Tenggara. Dan dengan lebih dari 6 juta jiwa penduduknya, Aceh juga menyimpan sumber daya alam yang berlimpah seperti: minyak, gas, emas, platinum, timah, karet dan lain-lain. 

Larouse Grand Dictionnaire Universelle menggambarkan Kerajaan Aceh sebagai "Bangsa yang paling dominan di Hindia Timur menjelang akhir abad keenam belas sampai paruh pertama abad ketujuh belas” ( Volume 1 , p.70 , Paris 1886 ) .

Tiga ratus tahun setelah Belanda bertapak sebagai tuannya  penjajah  di Pulau Jawa dan ke atas wilayah-wilayah Hindia Belanda yang sekarang disebut ' Indonesia', Aceh masih sebuah negara merdeka yang diakui secara internasional  dan memiliki hubungan diplomatik dengan semua negara yang ada dunia .

Prof M.C. Ricklefs, menulis dalam bukunya yang berjudul A History of Modern Indonesia (Sejarah Modern Indonesia): "Aceh telah muncul sebagai kekuatan utama, yang paling kuat, kaya, dan daerah yang subur makmur." ( Bloomington ,1981) .

Ketika sebagian besar dari kepulauan Melayu telah dimasukkan ke dalam kerajaan kolonial Belanda, Aceh merupakan salah satu daerah yang paling sulit bagi Belanda untuk mentaklukkan nya. Setelah Jepang menyerah kepada tentara sekutu pada bulan Agustus 1945, Belanda berusaha untuk mengambil kembali bekas imperium kolonial  mereka, tapi Aceh adalah satu-satunya wilayah di mana Belanda tidak pernah mencoba untuk merebut kembali. Pada tanggal 27 Desember 1949, tujuh tahun setelah penarikan mereka dari Aceh, Belanda menandatangani sebuah perjanjian dengan negara buatan baru yang beranama “Indonesia" dan mentransfer kedaulatan semu mereka atas Aceh kepada Indonesia, tanpa melaksankan jajak pendapat atau referendum dan konsultasi dengan rakyat Aceh sendiri, dan hal ini sama sekali bertentangan dengan prinsip-prinsip dekolonisasi PBB.  Beginilah caranya mereka memasukkan Aceh ke dalam Indonesia dengan cara tidak sah.

Berdasarkan status sejarah Aceh yang dipapar di atas sebagai sebuah negara merdeka, dan atas dasar peleburan tidak sah Belanda terhadap Aceh ke dalam Indonesia, Front  PembebasanAceh-Sumatra Nasional/Acheh-Sumatra National Liberation Front  (ASNLF) kemudian didirikan pada tahun 1976 dan pendeklarasian kembali Acheh  Merdeka dikeluarkan pada tanggal 4 Desember di tahun yang sama.  

Pendirian  kembaliAceh sebagai Negara suksesor didukung oleh sejumlah Resolusi PBB,  di antaranya adalah Resolusi 1514 yang menetapkan:

a. Kedaulatan dalam suatu penjajahan tidak terletak di tangan kekuasaan kolonial, tetapi di tangan orang-orang dari koloni yang diberikan. 

b. Kedaulatan atas wilayah kolonial tidak dapat dipindahtangankan oleh salah satu kekuasaan kolonial kepada kolonialyang lain.

c. Semua kekuasaan harus dikembalikan oleh kolonialis kepada orang-orang asli dari setiap koloni.

Dan Resolusi PBB nomor 2621 (XXV) lebih lanjut menegaskan bahwa kolonialisme dianggap sebagai "kejahatan internasional" dan hal itu adalah merupakan hak melekat semua bangsa terjajah untuk melawan penjajah .

Konflik Aceh dan perjuangan rakyat Aceh merupakan perjuangan politik.  Perjuangan ini adalah perjuangan penentuan nasib sendiri, perjuangan kelangsungan hidup Aceh sebagai sebuah  bangsa; perjuangan ini lahir akibat penjajahan selama berabad-abad dan puluhan tahun atas  penindasan dan ketidakadilan di bawah rezim Indonesia. Dengan demikian, penuntasan pelanggaran HAM di Aceh harus dimulai dengan menyelesaikan masalah politik terlebih dahulu, dengan mengungkap status Aceh vis a vis Jakarta, yang tidak boleh tidak didasarkan pada hak penentuan nasib sendiri rakyat Aceh untukmenentukan masa depan mereka sendiri .

Sekitar enam puluh dua tahun lalu, PBB telah mengadopsi resolusi (PBB Resolusi 637-A ,18 Dec. 1952) berkenaan dengan pemecahan masalah hak-hak asasi manusia : "Hak hak masyarakat dan bangsa untuk menentukan nasib sendiri adalah suatu kondisi awal dari realisasi penuh hak azasi manusia". Di sini sekali lagi, esensi dari hak untuk menentukan nasib sendiri adalah sedemikian rupa sehingga tanpa memprioritaskan hak dasar ini, semua hak-hak lainnya termasuk hak-hak azasi manusia tidak dapat dipenuhi dan diwujudkan secara bertanggung jawab.


Louis Nousy
Tampak Louis Nousy, Willem Sopacus, Antoni Stango, Yusuf Daud, Martha Meijer



Reporter Khusus PBB menekankan bahwa "pelaksanaan yang efektif dari Hak rakyat/bangsa untuk penentuan nasib Sendiri adalah satu syarat penting ... bagi wujud murni hak-hak azasi manusia dan kebebasan-kebebasan lainnya ". (Reporter Khusus PBB tentang hak atas penentuan nasib sendiri Doc.E/CN.4/Sub.2/405/Rev.1/1991)

Kezaliman rezim kolonial abad ke-21, seperti Indonesia, sering menganggap hak azasi manusia dan hak untuk menentukan nasib sendiri sebagai antitesis dari keutuhan wilayah negara. Tak bisa dipungkiri bahwa integritas teritorial suatu negara diakui oleh hukum internasional, tapi hak azasi manusia, termasuk hak untuk penentuan nasib sendiri, juga merupakan bagian integral dari hukum internasional dan menurut definisi harus menjadi perhatian yang sah dari masyarakat internasional. Ini juga merupakan prinsip utama dari hukum internasional bahwa legitimasi kontrol negara atas suatu wilayah tergantung pada bagaimana wilayah-wilayah itu diperoleh. Dalam kasus Aceh, wilayah itu secara tidak sah diduduki oleh Belanda dan kemudian diserahkan kepada negara yang baru dibuat Republik Indonesia setelah Perang Dunia II, tanpa proses hukum internasional dan undang-undang tentang dekolonisasi.

Hak Aceh untuk dikembalikan sebagai negara merdeka ditegaskan lagi oleh UNESCO doc. 23, 1990, para. 42, sebagai berikut: "Hal ini diterima secara luas bahwa sekelompok orang yang saat ini mengalami pendudukan militer yang secara tradisional telah membentuk bangsa sendiri atau telah menjadi bagian dari bangsa yang berbeda dari yang yang menempati itu, berhak untuk menyatakan atau untuk mengembalikan penentuan nasib sendiri."

Mengingat fakta tragis bahwa kemerdekaan bangsa Aceh telah mengalami penindasan berabad-abad oleh penjajah Belanda, Jepang dan Indonesia, tidak sulit untuk memahami mengapa bangsa Aceh sangat percaya bahwa kemerdekaan adalah satu-satunya cara ke depan dan referendum yang bebas merupakan salah satu cara demokrasi untuk menyelesaikan konflik. Oleh karena itu adalah tanggung jawab dari masyarakat internasional, termasuk PBB, untuk mendukung dan menegakkan hak-hak orang Aceh. Dan itu juga merupakan tugas PBB untuk menjamin hak-hak azasi manusia dan politik dari bangsa Aceh yang dirampas oleh Indonesia atas dasar "integritas wilayah" dan "urusan internal" Republik Indonesia.

Terima kasih atas partisipasi Anda.


(* = Diterjemahkan oleh sekertariat ASNLF dari judul asli pidato: ”Violations of Human Rights and the Rights to Self-Determination of the People of Acheh.