Mengikuti Perayaan Milad Aceh Merdeka ke 36 di Swedia




Kamis, 6 Desember 2012 |  Asnawi Ali (Citizen Reporter)

BEBERAPA lelaki dan wanita setengah baya baru saja turun serentak dari mobilnya.  Jam masih menunjukan pukul 12 siang.  Dijalanan, bongkahan salju terlihat memutih.  Pepohonan botak tanpa daun.  Suhu minus 10 dibawah beku. ”Silakan masuk kedalam ruangan, semua tamu sudah tiba,” ujar Abu Bakar.

Dalam sebuah aula di kota Hällefors yang berjarak 260 Km arah barat Stockholm, sekitar 40 orang warga Aceh termasuk generasi baru yang tinggal diberbagai kota di Swedia merayakan hari miladnya ke 36 pada selasa (4/12).  Sebelum acara dimulai, pertemuan diselingi dengan silaturahim ke acehan, seakan tidak terasa seperti berada di eropa yang sedang memasuki musim salju.

Seperti diketahui, Swedia sudah lama menampung berbagai pengungsi asal Aceh, begitu juga beberapa negara skandinavia lainnya.  Sesuai agenda, acara perayaan milad Aceh Merdeka ke 36 di Swedia diawali dengan pembacaan ayat suci Al -Qur'an. Selanjutnya, pembacaan teks asli proklamasi Aceh Merdeka yang dideklarasikan oleh Wali Negara Tgk Hasan M Ditiro pada 1976.  Dalam acara milad tersebut juga hadir beberapa senior warga Aceh di Swedia yang bertindak memberikan pidato penerangan.  Sebagai ceramah utama, didaulat Syahbuddin Abdurrauf untuk berpidato. 


Tgk. Syahbuddin Abdurrauf membacakan amanat pidato milad Aceh Merdeka ke 36 di Swedia, Selasa (4/12)


 Dalam amanatnya, Syahbuddin menggarisbawahi jika pada awal bulan April lalu telah terbentuk kembali ASNLF (Acheh - Sumatra Natonal Liberation Front).  Untuk meningkatkan kemampuan kerja pengurus dan menjalin hubungan dengan pihak-pihak lain, pihak ASNLF jelas Syahbuddin, telah mengirim peserta dalam acara-acara pelatihan, misalnya dalam acara-acara yang diadakan oleh Office of the High Commissioner for Human Rights  (OHCHR) di Jenewa, Swiss dan Unrepresented Nations and People Organization (UNPO) di Belanda dan seminggu yang lalu.


Syahbuddin Abdurrauf bukan tidak asing lagi bagi mereka pejuang generasi awal.  Dia beserta Muzakir Manaf termasuk rombongan generasi pertama yang dikirim ke Libya menuntut ilmu kemiliteran tahun 1986.


Dalam pidatonya yang juga membaca bagian dari amanat ketua presidium ASNLF, Syahbuddin menambahkan jika tanggung jawab perjuangan ada pada diri semua orang Aceh, sambil bertamsil bahwa kemerdekaan Aceh tidak akan datang begitu saja tanpa berusaha.  ”Apakah pekerjaan besar ini akan mampu dijalankan oleh beberapa orang saja? Saya yakin, kita sepakat, bahwa Aceh tidak akan merdeka tanpa usaha dan do’a dari kita semua. Jadi sudah sepatutnya kita laksanakan agenda-agenda kerja ASNLF bersama-sama, menurut ilmu, serta kemampuan yang ada pada diri kita masing-masing,” katanya.



Untuk menambah semangat, pada amanat 4 Desember kali ini Syahbuddin sembari mengutip contoh Skotlandia, salah satu negara dan bangsa di Eropa, walaupun sudah disatukan ke dalam kerajaan Inggris Raya selama lebih dari 300 tahun, mereka tidak menyerah dalam memperjuangkan  kemerdekaan. “Bahkan pada tahun 2013 akan diadakan sebuah Referendum untuk menentukan kemerdekaan negeri tersebut,” ujarnya dalam bahasa Aceh.


Selain itu, bekas kepala pelatih tentara GAM di Libya tersebut menyoroti hal  penting yang terjadi di Aceh mengenai kontroversi lembaga Wali Nanggroe yang sangat sulit diterima publik.  Menurut Syahbuddin, seiring dengan semakin meningkatnya gema perpolitikan di Aceh, menjadikan bendera Aceh Merdeka sebagai bendera dibawah NKRI adalah pengalihan isu baru demi kepentingan tujuan lembaga Wali Nanggroe.


Dalam akhir amanat, Syahbuddin melihat sebagai kalangan Aceh kini cendrung berfikir pasif seperti ”Apa saja boleh asal tidak ribut” sehingga hilangnya kemuliaan diri sampai tidak bisa lagi membedekan mana yang benar dan salah,” timpalnya. 




Acara milad Aceh Merdeka 4 Desember tersebut ditutup dengan pembaca do'a beserta suguhan kenduri bersama makanan khas Aceh.