Siaran Pers 
20 April 2012

Oposisi Belum Merasa Aman Hidup di Acheh 


Keadaan terkini Pesta demokrasi telah berakhir dan rakyat Acheh baru saja melaksanakan hak-hak demokrasi mereka untuk memilih posisi gubernur, bupati dan walikota dalam pemilu pada 9 April yang lalu. Hampir 7 tahun setelah penandatanganani Nota Kesepahaman, yang mengakhiri perang antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Acheh Merdeka (GAM), sekali lagi rakyat Acheh menjalani salah satu periode paling sulit dalam masa-masa damai ini.

Meskipun penampilan yang keterlaluan menjelang pemilu dan selama masa-masa kampanye, calon dari bekas kombatan yang tergabung dalam Partai Acheh yaitu Zaini Abdullah-Muzakkir Manaf menang secara mutlak atas kandidat lainnya, termasuk Irwandi Yusuf yang maju melalui jalur independen, walaupun ia didukung oleh mayoritas bekas komandan-komandan lapangan GAM.

Pemilu yang secara terang-terangan dinodai oleh berbagai kekerasan termasuk serangkaian pembunuhan yang bermotive politik, ancaman-ancaman dan intimidasi yang luas, pengrusakan kendaraan calon saingan dan segala macam muslihat kotor lainnya. Dengan kemenangan ini, Partai Acheh, yang digambarkan oleh International Crisis Group sebagai satu "partai otokratis, hampir menyerupai sistem feodal yang tidak menerima ada perbedaan pendapat", sekarang mengontrol penuh badan legislatif dan eksekutif. (Acheh’s bloodstained elections, GlobalPost, 6 April 2012)

Ketua Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Nyak Arief Fadhillah lebih lanjut menegaskan bahwa Partai Acheh mengintimidasi para pemilih hampir di seluruh wilayah, memaksa mereka untuk memilih kandidat dari partai itu. "Kami mendapat laporan intimidasi dari hampir semua daerah. Di Pidie, misalnya, seorang petugas TPS memberikan suara tiga kali. Kami masih mengumpulkan lebih banyak bukti untuk mendukung dakwaan kami bahwa intimidasi terjadi secara besar-besaran," katanya. (Paswaslu: Intimidasi Terjadi di Hampir seluruh Daerah, Achehkita.com, 10 April 2012)

Asian Network For Free Elections (ANFREL), dalam laporan awalnya tanggal 11 April, sangat kritis terhadap bagaimana pemilu ini berlangsung. Para pengamat dari organisasi ini menyatakan, bahwa ancaman-ancaman melalui SMS telah dilaporkan kepada pihak pengamat pemilu di berbagai wilayah, tetapi tidak ada tindakan lebih lanjut. Damaso Magbual, ketua ANFREL, melaporkan tentang penyimpangan-penyimpangan selama hari pemungutan suara, seperti satu kejadian dimana seorang anggota legislatif setempat tiba di sebuah tempat pemilihan dan memerintahkan para pemilih untuk memilih calon tertentu. Jenis ancaman seperti ini menjadi lebih buruk lagi, seperti dalam satu kasus yang diamati oleh ANFREL, para pelaku adalah tokoh "kuat dan terkenal". (Acheh Election Office Attacked Amid Claims of Vote Buying, The Jakarta Globe, 11 April 2012)

Acheh-Sumatra National Liberation Front (ASNLF) sudah sepatutnya khawatir tentang perkembangan dan situasi masa depan di Acheh, khususnya tentang keamanan anggota-anggotanya yang masih berkeinginan kuat mewujudkan kemerdekaan Acheh. Sejarah menunjukkan bahwa pihak-pihak pejabat masa depan Acheh belum mampu menyesuaikan dirinya ke dalam suasana pasca konflik dan masih memiliki perilaku-perilaku yang tercela.

Masalah hak asasi manusia

Di Acheh, hak asasi manusia telah dianggap sebagai sesuatu untuk masa lampau. Meskipun telah ditetapkan dalam pasal 2.2 dan 2.3 dalam Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki bahwa "Pengadilan HAM" dan "Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi" akan dibentuk di Acheh, namun sejauh ini belum ada kejelasannya setelah hampir 7 tahun kesepahaman damai tersebut ditanda-tangani. Yang terjadi sekarang adalah pelaku-pelaku telah berupaya melarikan diri dari keadilan dengan rekonsiliasi di antara mereka-mereka sendiri dan mengampuni dan melupakan pelanggaran masa lalu, termasuk pelanggaran HAM berat dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang tak terhitung jumlahnya selama konflik.

Rekonsiliasi memang telah terjadi antara bekas kombatan (GAM) dan militer Indonesia. Tapi tidak ada upaya semacam itu dilakukan antara mantan kombatan dan orang Acheh sendiri dan antara militer Indonesia dengan pihak korban pelanggaran HAM. Harapan yang tinggi untuk membentuk komisi yang disebutkan di atas, untuk membawa para pelaku ke pengadilan menjadi semakin jauh setelah dua bekas panglima militer indonesia untuk Acheh, Jenderal Sunarko dan Mayjen Jalil Yusuf bergabung secara aktif dengan Partai Acheh dalam masa kampanye untuk memenangkan kandidatnya. Menurut berita salah satu media lokal, kedua pejabat tinggi militer tersebut, yang terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia selama konflik, hampir dipastikan akan tinggal di Acheh sebagai penasehat untuk pemerintah Acheh yang baru.

Gagasan untuk membawa para pelaku pelanggaran HAM ke pengadilan telah berlangsung lama dan terus-menerus disuarakan oleh rakyat Acheh untuk menuntut kebrutalan-kebrutalan yang tidak terkatakan yang dilakukan oleh angkatan bersenjata Indonesia terhadap rakyat Acheh dalam tiga dekade terakhir ini. Tetapi dengan perkembangan akhir-akhir ini, Acheh sekali lagi jatuh dalam cengkeraman besi pihak Jakarta melalui tangan-tangan bekas jenderal yang penuh berlumuran darah.

Masalah Politik

Acheh-Sumatera National Liberation Front (ASNLF) yang didirikan oleh Dr. Tengku Hasan di Tiro pada tahun 1976, adalah satu-satunya front perjuangan pembebasan yang sah, yang berdasarkan pada sejarah, hukum internasional dan konvensi, yang terus memperjuangkan kemerdekaan Acheh dari neo-kolonialisme Indonesia. Kami percaya bahwa akar permasalahan Acheh adalah permasalahan politik dan ini harus diselesaikan secara politik. Oleh karena itu, tanpa kembali ke akar persoalan, pelanggaran-pelanggaran HAM di Acheh tidak akan pernah terperbaiki. Masalah Acheh harus diselesaikan melalui prinsip-prinsip dari hak penentuan nasib sendiri rakyat Acheh untuk menentukan masa depan mereka sendiri.

Sekitar enam puluh tahun yang lalu, negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengadopsi sebuah resolusi yang berkaitan untuk memecahkan masalah hak asasi manusia: "Hak orang-orang dan bangsa-bangsa untuk menentukan nasib sendiri adalah satu persyaratan awal untuk merealisasi penuh hak asasi manusia" (Resolusi PBB 637-A, 16 Desember 1952). Sudah menjadi pengetahuan umum, bahwa tidak akan ada perdamaian tanpa keadilan dan tidak akan ada keadilan tanpa rasa hormat kepada hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan yang mendasar. Dan hak-hak asasi manusia tidak dapat sepenuhnya terwujud bila hak suatu bangsa untuk menentukan nasib sendiri tidak diindahkan.

ASNLF sangat prihatin, bahwa perkembangan politik setelah pemilihan umum akan menciptakan ketidakpuasan yang kuat di antara calon-calon yang kalah dengan tidak adil, yang pada gilirannya dapat menyebabkan ketidakstabilan dan mungkin menyebabkan konflik kambuh lagi.

Situasi politik di tanah air kami adalah sedemikian rupa sehingga dalam masa-masa damai ini masih terlalu banyak masalah yang harus diselesaikan. Dan kami tidak punya alasan untuk mempercayai, bahwa situasi di Acheh ke depan akan dapat menjamin adanya perlindungan dari tekanan-tekanan dan intimidasi terhadap hak-hak politik orang Acheh dan identitas bangsa Acheh. Oposisi belum merasa aman hidup di Acheh.

Ariffadhillah
Ketua Presidium
Acheh-Sumatra National Liberation Front

http://www.asnlf.org/index.php/asnlf-website-melaju/berita-aktual/siaran-pers-20120420/